Rabu, 27 Juli 2022

Memperkaya sudut pandang

 Manusia umumnya berfikir bahwa kecerdasan adalah seberapa banyak dan cepat anda mengingat (recall) sesuatu dari bank memori..

Contoh: 1+1= 2, sebutkan nama buah yang berwarna kuning = pisang, atau fenomena banyak warna setelah hujan = pelangi..

Apakah itu termasuk kecerdasan?

Tentu saja itu termasuk,

Namun apakah seseorang yang pelupa tidak cerdas??

Belum tentu, karena bentuk kecerdasan manusia sangat banyak, dan untuk melihatnya kita membutuhkan sudut pandang yang lebih luas lagi..

Contoh:

Siswa/siswi yang duduk di baris depan memiliki indikasi siswa teladan karena mereka fokus ke pelajaran, namun, bukan secara otomatis yang memilih duduk paling belakang adalah murid terbodoh dan malas, justru mereka terlatih melihat sesuatu lebih luas dan kreatif dengan sudut pandang dan memperoleh refrensi lebih banyak dibandingkan siswa/siswi yang duduk di depan kelas, ya iya lah duduk nya didepan kelas bukan di dalam kelas 😝😝😝

Kembali ke kecerdasan memori, dahulu kita sangat membutuhkan ingatan yang luar biasa tajam untuk menghitung, kalkulasi, merencanakan, mengestimasi, namun seiring berjalannya waktu manusia berhasil menciptakan komputer untuk memproses dan mengoperasikan sesuatu sesuai dengan program beserta data yang di input kedalam sistem secara sangat cepat.

Tolak ukur kecerdasan manusia bukan hanya dari daya ingatnya saja, karena bisa jadi dibalik seorang yang pelupa sesungguhnya adalah seorang yang sangat berhati-hati sebelum mengambil keputusan, biasanya mereka mengujinya dengan mempertanyakan lebih lanjut ke diri sendiri dan juga orang lain (yang bersangkutan) terlebih dahulu untuk lebih yakin (make sure) sebelum ambil keputusan dan dapat hampir dipastikan keputusannya tidak akan disesalkan dikemudian hari, pertama karena tidak ada gunanya terlalu lama larut dalam lubang penyesalan, kedua mereka sudah membuat keputusan dengan pertimbangan penuh..

Contoh: 1+1=2 karna 2:2=1 dan karena 2-1=1 

Sebutkan nama buah yang berwarna kuning = nanas, pisang, dan bukan jeruk, karena jeruk berwarna jingga. 

Fenomena banyak warna setelah hujan = Pembiasan cahaya matahari oleh butiran air di udara setelah hujan turun,

beberapa remaja modern menyebutnya dengan kata berlebihan berfikir (overthinking), padahal hal ini adalah pondasi dalam proses berfikir penuh pertimbangan (brainstorming).

Stereotipe seperti inilah mengapa terkadang menjadi sosok yang berbeda dianggap tidak cerdas atau bahkan sering dianggap bodoh bahkan tak jarang di cap sebagai kesesatan, padahal hal penting inilah yang dibutuhkan untuk membuka alternatif jalan keluar yang solutif, dan efektif.

Stereotipe-stereotipe yang berpola ini terjadi upaya mempercepat proses penilaian dalam pendidikan dari seorang penguji atau guru di bangku sekolah, walaupun sebenarnya pola itu tidak mutlak sama satu dengan lainnya, layaknya anak kembar identik, terlihat sama dari luar namun tetap berbeda di dalamnya..

Contohnya: 

Siswa/siswi yang duduk di baris depan memiliki indikasi siswa teladan karena mereka fokus ke pelajaran, hal ini tidak sepenuhnya benar, bisa jadi siswa siswi yang memilih duduk di baris paling depan karena pandangan mereka rabun (pengguna kacamata minus), indikasinya bisa jadi benar namun kita tidak bisa tutup mata bahwa ada kebutuhan mendesak yang lebih kuat dibalik itu semua.


Ya karena dalam ujian sekolah jawabannya harus sesuai dengan kunci jawaban, walaupun belum tentu sang murid paham betul mengapa jawabannya demikian, atau darimana asalnya kebenaran itu datang, ataupun mengapa hal itu dianggap benar??


Demikian tulisan ini dibuat untuk menyadarkan kita bahwa,

Kita tidak pernah tau seberapa banyak sosok manusia genius yang terlewatkan dimasa lalu hanya karena mereka yang dianggap kurang, bahkan gila oleh masyarakat luas dan umum, dan gak sedikit riset dan pola pikirnya bertahun-tahun lamanya hanya dimanfaatkan oleh sang oportunis kapitalis, atau bahkan masih menjadi misteri sampai saat ini.

Definisi keberadaan air jernih yang tercemar dengan toxicity, dan disia-siakan karena dianggap tidak akan survive harus sama atau melebihi tingkat toxic lingkungan-nya, kemudian dipaksakan mati tanpa sisa sisa..

Senin, 29 Agustus 2016

Siklus Air (Filosofi) ditulis oleh saya sendiri (Fransiskus Arlivito)

Repost dari Catatan di akun Facebook FransGtuLoch
Alay banget ya, tapi tak apa lah kenang-kenangan..

---------------------------------------------------------------------------------------------
*Peringatan: untuk mencegah adanya kesalah pahaman..
Sebelum membaca tulisan ini, dengan segala hormat saya mohon!

Karena semua pasti ada positif dan negatifnya, tergantung dari mana sudut pandangnya.
Maka dari itu pembaca diharap bisa lebih bijak untuk memilah, memilih, menimbang yang mana poin positif dan mana poin negatif.
Karena tulisan ini dari awal dibuat oleh penulis bukan bermaksud untuk menggurui atau justru menjerumuskan para pembaca..

Terimakasih, Selamat membaca!
--------------------------------------------------------------------------------------------

"AIR"

Tenang dipermukaan, bagai mega samudra terdalam..
Semakin terbendung, menguatkan arusnya..
Tak jarang hanya dimanfaatkan tuk menghangatkan tabung pijar..
Bersinar terang dalam gelap gulita malam, kelam, kian dingin, hingga fajar menghampiri..

Terbakar api panas, hanya meng-uap..
Terangkat jadi hiasan cakrawala biru..
Menggumpal kecil, putih awalnya..
Hingga akhirnya meluas, menghitam garang kemudian..
Cahya surya-pun tak mudah menembusnya..

Guntur menyambar, menjerit-jerit, bergemuruh, gaduh, bahkan ricuh..
Saat badai datang mengamuk, tuk memecah keheningan, kesepian, kehampaan..
Rela jatuh tersungkur, ber-ulang kali menahan sakit, perih, pecah belah, pisah..
Membentur kerikil, batuan, bahkan karang nan tajam bagai duri..

Apakah selesai?, mati?

. . . .

Tertolong oleh kerendahan hati, menyatukan jati diri kembali..
Semakin rendah hati, kian menyatu tiap tetes, perlahan namun pasti..
Menghidupi tanah kering, gersang nan tandus, hingga menghijau royo-royo..
Sedari hulu menuju hilir..

Melalui perjalanan jauh, berliku, berbelok, pasir halus, sekali-pun batuan kerikil yang kasar..
Bahkan harus masuk kecelah-celah di dalam tanah, gelap tanpa sinar, sunyi senyap, lenyap..

Menjalani proses perubahan waktu, suhu, dan udara..
Tak sedikit tetesan yang terperangkap, mengkristal, menggumpal, membatu..
Karena membawa beragam material dan mineral di sepanjang perjalan..

Apakah sulit?, rumit?

. . . .

Begitu banyak kejadian diluar kendali, rencana, harapan, keinginan, bahkan impian sekalipun..
Terkotori dengan sampah, fitnah, caci maki, bahkan sumpah serapah..
Menggumpal tak tertahan, tak terbendung, makin jadi..

Menggenang, membanjiri daratan keluar jalur yang seharusnya..
Mendorong kesana-kemari, menerobos masuk bangunan-bangunan kokoh..
Bau tak sedap, bercampur bangkai mahluk hidup yang mati terbunuh, kotoran, kuman, bakteri penyakit..
Membusuk nan beracun..

Saat-saat seperti ini, hanya ada pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak..
"Siapa yang salah?" "Kenapa salah?" "Kapan salah?"
 itu tidaklah menjadi pokok permasalah lagi..

Sebab, itu diluar kendali, dan sudah terlanjur terjadi..
Bukan saatnya untuk saling menyalahkan..
Namun yang benar-benar diperlukan, dan dibutuhkan adalah
"Bagaimana caranya mermperbaiki keadaan ini?"

. . . .

Bahkan di penghujung perjalanan..
Sudah sampai di mega samudra menyatu kuat jati diri..
Kapan-pun bisa terjadi getaran, goncangan, dan dipaksa mengombak kepesisir pantai..
Dengan gelombang luar biasa hebat..

Karna gesekan lempeng bumi..
Patah, membocorkan wadah..
Tempat bernaungnya jati diri..

Hanya bisa pasrah, sujud, meminta maaf dan belas kasihan..
Atas apa yang telah terjadi, mengakibatkan kerusakan, bencana, kepanikan, kerugian..
Karna apa mau dikata, itu sudah benar-benar jauh dari kemampuan..

yang diinginkan sekarang hanyalah beristirahat tenang dalam damai..

-Sekian dan Terimakasih atas waktu yang diluangkan untuk membaca tulisan ini-
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Setelah membaca catatan ini..
Sadarkah kita disengaja atau tidak..
Sering kali meremehkan, dan menyia-nyiakan keberadaan air di lingkungan sekitar..
atau bahkan orang-orang yang berkepribadian seperti air?

atau justru saudara/saudari seperti membaca siklus kehidupan diri sendiri?
Kalau jawabannya adalah "ya"..

Sudah sampai di tahap manakah kehidupan saudara/saudari?

Mudah-mudahan tulisan saya ini sedikit/banyak bisa memberi inspirasi kepada para pembaca..
Mohon maaf atas kesalahan saya dalam pemilihan kata, cara penulisan, dan tata bahasa yang kurang tepat..

Membuka pintu selebar-lebarnya untuk kritik dan saran.. n_n